"... semenjak aku tahu dia terjangkit HIV, sejak saat itulah aku mulai menjaga jarak. Awalnya dulu kami sangat akrab. Setiap kali bertemu selalu diawali dengan berjabat tangan sambil memeluknya erat. Yah, itu dulu. Kini saatnya untuk memutuskan rantai penularan itu. Caranya hanya dengan tidak bersentuhan sama sekali", ucap seorang Pegawai Penjara (khusus wanita). Ini hanya sepenggal cerita dari banyak kisah petugas pelayanan publik. Petugas yang bekerja melayani banyak masyarakat dari berbagai latar belakang status.

Dulu, saat aku masih duduk di bangku sekolah yang ku tahu tentang HIV hanyalah sebuah penyakit. Penyakit yang dapat menular dari satu orang ke banyak orang. Aku mengenal penyakit ini menular dari media elektronik dan media massa. Angka-angka penyebaran HIV yang ditampilkan media di beberapa lokasi membuat ku kagum sebentar dan bertanya-tanya "Kenapa bisa menular? Bagaimana bisa menular? Apakah anak seperti aku ini bisa menular?". Lambat laun satu demi satu pertanyaan pun terjawab, tidak perduli apakah itu benar atau salah.

Pemahaman ku akan HIV hanya sebatas 'cukup tahu' tidak untuk 'banyak tahu' karena aku tidak terlalu ingin tahu. Waktu masa-masa sekolah, informasi yang aku dapat tentang HIV adalah sebuah virus yang menular dikarenakan sering berganti-ganti pasangan. HIV bisa menular dengan banyak cara, yakni: melalui udara, ciuman, darah, air liur, air dan lainnya. Anak-anak yang terkena HIV dipanggil dengan sebutan anak haram, dikarenakan dari "hubungan badan" secara berganti-gantian dan korbannya biasanya adalah PSK (atau dulu yang dikenal dengan WTS). Informasi ini tidak hanya aku dapat dari media, namun juga dari teman-teman sebaya ku pada masa-masa sekolah. Dengan seriusnya aku mendengar teman-teman ku berbicara sambil  ku angguk-anggukkan kepala ku sebagai tanda aku setuju dengan kata-kata mereka. Apalagi saat itu, masa-masa dimana Papua menjadi sorotan publik sebagai daerah terbanyak penderita HIV.

Secara nyata, di kota ku belum kutemukan seorang dengan status HIV. Namun, aneka macam selebaran propaganda yang disebar dibeberapa  area di kota ku mengajak untuk memerangi HIV-AIDS dengan setia pada satu pasangan dan menggunakan kondom saat melakukan "hubungan badan". Hanya itu saja yang ada pada saat itu (sekitar tahun 2001-2007), selebihnya selebaran untuk tidak menggunakan narkoba.

Diawal tahun 2011, aku dan bersama teman ku memilih magang di Pusat Layanan Informasi HIV dan Narkoba. Kami berdua memiliki latar belakang pendidikan sosial, tepatnya di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU. Sejak awal magang sampai berakhirnya magang pada bulan Mei 2011, seluruh pemahaman yang pernah ku dapat sejak saat di sekolah dulu, sedikit demi sedikit "dikikis" dan digantikan dengan informasi-informasi terbaru berdasarkan fakta baru di lapangan.

Lembaga tempat ku magang bergerak di bidang Harm Reduction. Seluruh kegiatannya bertujuan untuk mengurangi dampak buruk dari penggunaan narkoba. Beranjak dari fakta tingginya angka penyebaran HIV dikarenakan aktivitas penggunaan jarum suntik (di kalangan pengguna narkoba suntik) secara berganti-gantian, maka lembaga ini memasok alat suntik steril bagi pengguna narkoba suntik (sebut saja penggilannya penasun) tanpa harus mengurangi jumlah pemakainya. Pemasokan alat suntik dibantu langsung oleh KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) melalui puskesmas-puskesmas dan isinya terdiri : alat suntik steril, alkohol dan kondom.

Pada bulan September, lembaga ini kedatangan klien dengan status HIV Positif. Ia dirujuk langsung oleh lembaga yang menangani ODHA untuk memperpanjang terapi ARV (Antiretroviral). Bagi klien ini, ARV adalah penyambung nyawanya untuk dapat hidup lebih lama dan ia menginap selama 1 bulan lebih di lembaga. Ketika ia ditetapkan menjadi klien, beberapa staf diunjuk untuk menjadi pendampingnya. Berbagai persiapan untuk penginapan, makanan sampai obat-obatan dilakukan oleh staf pendamping. Hari demi hari klien melewati masa-masa pengobatannya didampingi oleh pendamping.

Pada bulan Oktober, pendamping dari pada klien ditugaskan untuk mengikuti PERNAS AIDS di Yogyakarta selama seminggu dan klien dipindah tanggungjawab ke salah seorang staf. Saya selaku volunter (relawan) pada saat itu bersedia untuk menginap selama seminggu sebagai pemantau dalam aktivitas klien.

Pagi dan malam pun berlalu bergantian, setiap pagi klien selalu masak untuk sarapan. Masakannya tergolong enak, bumbunya pas dan rasanya nikmat. Kami makan bersama di ruang yang sama sambil berbincang-bincang. Kadang-kadang, saat ia tidak memasak aku pun pergi untuk membeli roti dan ia memakan roti yang aku bawa. Dimalam hari, diruang istirahat kami berkumpul untuk menonton bersama. Sekilas tawa diantara kami menghiasi suasana. Tidak ada rasa canggung yang kurasa saat bersama klien dan ia tergolong orang dengan pribadi yang ramah, bersahabat dan suka menolong. 

Pada suatu hari ketika aku pulang dari kampus, suasana sedikit berbeda. Klien yang biasanya aktif didepan televisi menonton infotaiment, kini sedang tidak ingin keluar kamar. Setelah diselidiki, ternyata ia sakit hati dengan perkataan yang lontarkan oleh salah satu staf. Perkataan yang dilontarkan walaupun niat hati ingin bercanda namun bila tidak memiliki kedekatan dengan klien bisa menjadi masalah. Isak tangis klien pun terdengar dari dalam kamar.

Suasana hatinya pun kembali membaik esok paginya, ia beraktivitas kembali namun tidak seperti pada hari-hari sebelumnya. Malamnya, saat menonton acara televisi ia tertawa kembali setelah melihat tingkah laku pelawak yang kocak. Saat ia tertawa, ia terlihat seperti orang sehat pada umumnya. Tidak memiliki kegelisahan ataupun keresahan. Senang rasanya bisa melihat ia kembali meraih kebahagiaannya. Hanya dengan bahagialah ia bisa membangkitkan semangat untuk meraih harapannya.

Pada awal bulan Akhir Oktober, klien dipulangkan kembali kepada keluarganya setelah urusan untuk perpanjang ARV selesai. Rasa sedih bercampur bahagia karena akan pulang kembali ke kampung halamannya terlihat dari matanya yang "berkaca-kaca". Pada saat itu, aku hanya bisa memberi dukungan emosional melalui berjabat tangan, sementara staf yang lain memberikan salam dan pelukan. Klien pulang dengan menggunakan pesawat dan berangkat pukul 16.00 WIB.

Ketika klien pulang, suasana lembaga sedikit canggung. Karena tidak ada lagi sarapan pagi, gelak tawa di depan televisi, dan bincang-bincang. Semua hanya tinggal kenangan dan berharap ia bisa melewati masa-masa hidupnya dengan keluarganya serta meraih harapan dan mimpi-mimpinya.

Jadikanlah ODHA sebagai sahabat bagi kita. Buat ia tersenyum dan dukung ia terus untuk dapat meraih semua mimpi-mimpinya. ARV tidak menjamin 100% untuk proses hidup lebih lama. Tapi kebahagiaan, kebersamaan dan rasa saling menghargailah yang menjadi penentu segalanya bagi ODHA. Tindakan diskriminasi yang didapat ODHA dalam lingkungan akan membawanya kedalam situasi terberat dalam hidupnya. Saat-saat itulah dimana penyakitnya berkembang dengan mudah, saat ODHA dalam depresi yang sangat berat. Ingat kata pepatah: "Hati yang Gembira adalah Obat tetapi Semangat yang Patah Keringkan Tulang". 

Untuk dapat meminimalisir stigma yang beredar dalam masyarakat maka perbanyaklah informasi tentang seluk-beluk HIV dan ketahui cara pencegahannya. Bedakan istilah antisipasi dengan diskriminasi. Bahaya laten antisipasi sering kali berujung pada diskriminasi. Bila kita telah memiliki pemahaman yang baik tentang HIV, maka sebarluaskanlah semua kebaikan itu dan jadilah orang pertama memberi diri untuk bertindak dalam pengikisan stigma yang ada dalam masyarakat.

Semua pasti bisa, semua pasti mampu bila dikerjakan sepenuh hati. Jadilah salah satu bagian dari orang-orang yang membuat ODHA tersenyum dan memiliki semangat untuk bangkit meraih prestasi. 
 
"... sedih juga melihat ia menangis waktu aku perlakukan ia seperti itu. Saat ia ingin menjabat tangan ku, aku malah mencoba untuk menghindarinya dan sebisa mungkin untuk tidak bertemu dengan ia dalam sehari", sambung kata seorang Pegawai Penjara tersebut diatas.



Septian Siagian
Medan - Sumatera Utara