Ketakutan bisa datang kapan saja, dimana saja dan menghampiri siapa saja. Keyakinan akan ketakutan-ketakutan yang menghasilkan kecemasan akan membawa kita ke dalam kesulitan. Kesulitan untuk dapat menerima sebuah keadaan, mengihklaskan sesuatu keadaan yang tak bisa diubah, dan memberi diri untuk tinggal dalam keadaan.

Ketakutan pada setiap orang memiliki kadarnya masing-masing dan itu tergantung pada pola pikirnya yang terbentuk dari proses input, sehingga usaha untuk menyakinkannya agar kuat menghadapi ketakutannya akan berbeda-beda pula. Ketakutan yang terjadi tidaklah datang karena direncanakan, semuanya terjadi secara alamiah dan dapat dipelajari. Ketakutan alamiah terjadi melalui proses input, yang terdiri dari proses melihat, membaca dan mendengar. Seluruh ketakutan-ketakutan tersebut terekam dalam ingatan dan pada saat itulah proses mempelajari terjadi. Orang-orang yang berperan dalam proses input adalah keluarga, lingkungan tempat tinggal, teman sebaya dan sekolah.

Saya pernah bertanya pada seorang lulusan Psikologi USU (Universitas Sumatera Utara) namanya Frans Samosir, tentang asal-usul seorang anak bisa takut, yakni :
  1. Darimana seorang anak memperoleh ketakutan?
  2. Siapa yang berperan aktif mengajari anak sebuah ketakutan?
  3. Bagaimana proses terjadinya ketakutan pada anak?
  4. Apakah ketakutan itu diperlukan dalam proses kehidupan?
Dari jawaban-jawaban yang diperoleh dapat disimpulkan bahwasanya "Seorang anak memperoleh ketakutan dari apa yang ia pelajari, yang berperan aktif dalam pengajaran tersebut adalah orang-orang terdekat dengan anak. Proses terjadinya secara alamiah dan ketakutan itu diperlukan untuk menghasilkan sebuah keberanian". Demikianlah hasil wawancara singkat yang saya lakukan melalui SMS disaat perjalanan pulang ke kampung halaman di dalam gerbong kereta api. Selain itu juga beberapa hari yang lalu dalam diskusi yang terlaksana di LAPAS KLAS 1 Tanjung Gusta, Medan dengan beberapa WBP yang berbagi seputar kecemasan mereka dari rasa takutnya ketika menghadapi vonis hukuman penjara. Bila pernyataan mereka dirangkum, maka letak ketakutan mereka hanya sebatas ketidakinginan merasakan kekerasan emosional atau fisik dari apa yang pernah mereka dengar dan lihat dari media-media. Namun, setelah menjalani masa-masa hukuman tersebut, ketakutan itu hilang. Hal tersebut terjadi karena ketakutan yang terbentuk sejak awal ternyata tidak dialaminya selama menjalani masa hukuman di penjara.

Akhir kata : Banyak dari kita yang menjadi korban ketakutan sulit untuk maju. Ketakutan-ketakutan yang sering terbentuk tanpa alasan membuat kita sulit menerima diri untuk berkembang. Solusi terbaik dari solusi-solusi yang ada hanyalah mencari jawaban dari ketakutan. Caranya hanya satu, yakni: JALANI dan percayalah akan Kekuatan yang Lebih Besar yang menolong kita untuk menjalani dan menghadapi setiap keadaan.


"... dan janganlah kamu kuatir dengan hidup mu, karena setiap hari kehidupan ini selalu memiliki kesusahannya masing-masing."